1.Pengartian Umum.
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna
yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan,
yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku
Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian
pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama
: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana
asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertama
kali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs.
I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama
RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia
sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan
pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi,
kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama
Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di Bali, ada sumber yang memberikan
titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan
pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882
Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka,
Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali
rajya,
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu
pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal
15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat
Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama
tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka
perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang
tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan
dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah
datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif
pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja
Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali,
setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa
dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa
Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja
sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu
mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa
Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura
Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa
brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari
Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.
Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan
kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan
Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya
kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi
yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu
memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan
pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala
yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari
diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan
bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh
umat Hindu di Bali.
2. Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang
memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang
berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran
(dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk
membeda-bedakan kecendrungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan
kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda
adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama
Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu
memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar
Sundarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail.
Mengenai makna Galungan dalam lontar Sundarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis
ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan
bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan
segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan
rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan
pikiran yang terang inilah wujuddharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan
pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar
Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan
menangnya dharma melawan adharma.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian
kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada
disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba,
artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar
dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang,
enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari
Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh
(Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan
membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania
amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing).
Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam
bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang
disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan
Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari
tersebut dianjurkan anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan
dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena
(orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan
Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan
pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamongyoga samadhi.”
Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari
inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara
pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat
kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna
sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan
yang ada pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului
Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan
disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan
dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi
tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak
saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan
yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke
sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang
umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta
gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata,
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari
Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang
mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam
lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sunarigama
disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan
pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa?
Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke
Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan
ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
3. Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi”
artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal
perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang
telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan
yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara
Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh
umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan
keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.”
Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan
itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan
adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta
Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari
Raya Galungan.
b. Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat
Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu
Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804
Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali
saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa
meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa
adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu
tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar
bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih
semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan
wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang
lebih utama dan lebih meriah.
Disamping karena ada keyakinan bahwa hari
Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa
kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya
gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut
Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih
setiap 10 tahun sekali.
c. Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan
tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan
sebagai berikut:
"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem
Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran. “
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih
Kapitu, Tilem Galunganiya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9,
tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan
hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring
wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku
Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala
Rau ngaranya yon mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih
Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering
ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran
keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira
kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem
(tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah.
Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari
Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian
tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan
dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik
itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu
sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti
petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu
oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang
berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar
Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa
Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir.
Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging
manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan
upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen
“tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan
menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa.
Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita
Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai
lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai
Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa
diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya
pada keutamaan upacara agama.
4. Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas
pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di
India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia
mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di
India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim
dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula
“Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari
seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam
umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan
malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang
sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih
menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Nawa
Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga hari
berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.
Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik dalam hati
nurani.Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit. Tiga hari memuja
Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita menguasai ilmu
pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup.Niat baik itu hartus disertai dengan
kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun hidup manusia. Tiga
hari terakhir memuja Dewi Laksmi.Ini artinya puncak dari perjuangan membangun
niat baik dan menguasai ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin.
Niat baik dan ilmu pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak
menghasilkan hidup sejahtra lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini
bertujuan agar niat baik dan ilmu pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk
mewujudkan hidup sejahtra Sekala dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra
itu tidak mudah,karena itu hartus dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan
sebagai Dewi Laksmi pada tiga hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut..
Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya
Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan,
kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali
setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika
(Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau
April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan
untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi
Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam
tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang,
maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi
yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih
sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki
kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi
nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan
yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan
umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah
karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama
capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah
merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan
Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan
ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat
mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk
mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari
kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari
kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah
sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana,
Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling
beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada
orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu
yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana
kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun
bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi
Sita, Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat
Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan
panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami
yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan
Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih
sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha
dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika
pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa
Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan fllosofi
dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan
Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus
dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah
terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.